PROYEK REDD+ DAPAT BERJALAN JIKA TATA KELOLA KEHUTANAN
DIPERBAIKI, DAN PRINSIP PADIATAPA SERTA RAMBU KESELAMATAN DIJALANKAN
“Emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan dan lahan di Sulawesi Tengah hanya bisa diurunkan jika terjadi
perubahan paradigma pengelolaan kehutanan di daerah ini. Selama tata kelola
kehutanan masih buruk, maka berbagai upaya penurunan emisi dari kerusakan hutan
hanya akan menjadi sia-sia dan mubazir. Ujung-ujungnya, setiap ada proyek
pendanaan pengurangan emisi dari sektor kehutanan yang datang ke daerah ini,
hanya akan berpotensi menjadi lahan korupsi yang baru”
Kesiapan
Sulawesi Tengah untuk menjalankan proyek REDD+ harus dipertanyakan kembali.
Mengapa? Karena masih banyak persoalan kehutanan di daerah ini yang harus
diselesaikan, terutama konflik tenurial kehutanan yang berkepanjangan, serta
tumpang tindih perizinan antara izin pembalakan, pertambangan dan perkebunan
besar dalam kawasan hutan. Serta, belum rampungnya penata batasan kawasan sejak
peta kawasan dan perairan diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan pada tahun
1999. Juga, hinga kini, seluruh Kabupaten dan Kota di Sulawesi Tengah belum
selesai menetapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing, termasuk
level propinsi, berdasarkan amanah UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Klaim pemerintah bahwa tutupan lahan masih relatif harus dibuktikan detailnya
di lapangan. Sebab, kami juga menemukan fakta bahwa laju deforestasi di Sulteng
dari tahun 2003-2006 mencapai 118.744 Ha/tahun. Atau setara dengan 27 kali
lapangan sepak bola per jam (Diolah dari data Dephut, 2008). Banjir bandang
yang melanda Banawa Selatan Oktober 2011, serta Kecamatan Kulawi dan Kabupaten
Buol saat ini, menjadi bukti kuat bahwa hutan di Sulawesi Tengah sudah semakin
rusak dan fungsinya sebagai kawasan resapan air sudah mulai menurun.
Selain itu juga, kecenderungan untuk berkurangnya luas dan menurunnya kualitas
hutan setiap waktu semakin menanjak. Bagaimanapun, keberadaan 16
perusahaan IUPHHK (6 sudah tidak aktif) dengan luas konsesi 992.155 Ha, tetap
akan mengeksploitasi hutan. Juga dengan kehadiran 12 perusahaan perkebunan
sawit dengan izin HGU seluas 124.546 Ha. Serta keberadaan lebih dari 250
perusahaan pertambangan (lokal, nasional, transnasional) dengan luas
konsesi mencapai 2.389.580 Ha.
Klaim tentang kepadatan karbon yang cukup tinggi, juga harus dibuktikan dengan
data empiris dan data terbaru dari lapangan. Paling tidak, ada data referensi
yang bisa diklarifikasi dan terukur dari tingkat kepadatan karbon. Data masa
silam tentang kepadatan karbon tidak dapat dijadikan patokan utama.
Apalagi, kepadatan karbon berkaitan erat dengan kondisi tutupan lahan.
Logikanya, semakin baik tutupan hutan sebuah wilayah, maka semakin tinggi pula
cadangan karbonnya.
Kami juga memandang bahwa pemerintah terlalu berani menepatkan besaran emisi
untuk Sulawesi Tengah sebesar 3% dari rata-rata 14% level nasional. Sebab, laju
deforestasai dan lahan kritis juga mencengangkan setiap tahunnya. Besaran 3%
menurut kami terlalu gegabah dan masih bisa diperdebatkan, sebab jika
berkaca pada laju deforestasi dan lahan kritis setiap tahunnya di daerah ini,
kemungkinan emisi kita dari deorestasi dan degradasi cukup tinggi, sehingga
bisa lebih dari 3%.
Kuatnya dukungan politik pemerintah daerah juga masih bisa dipertanyakan.
Mengapa? Karena, kita belum tahu dukungan politik dalam bentuk apa?
Apakah pemerintah propinsi serta DPRD propinsi benar-benar berani untuk
melakukan perubahan bagi perbaikan tata keleola kehutanan di daerah? Contohnya,
berani melakukan evaluasi terhadap perusahaan pembalakan, pertambangan dan
perkebunan besar yang menyebabkan hutan semakin rusak.
Prinsip persetujuan dengan informasi awal dan tanpa paksaan ( padiatapa)
sebenar-benarnya harus diterapkan dalam setiap tahapan proyek pendanaan REDD+.
Mulai dari tahap perencanaan, impelementasi, sampai proses monitoring dan
evaluasi. Dan jangan pernah melupakan azas rambu keselamatan (safeguard).
Proyek pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, maupun proyek pendanaan
pengurangan emisi sektor kehutanan, diharap mampu menjamin tatanan
dan norma-norma sosial setempat tidak mengalami reduksi dan pendangkalan.
Kami juga berharap adanya jaminan situasi ekonomi setempat tidak akan mengalami
defisit. Baik pada pola produksi maupun pola konsumsi lokal. Serta, adanya
jaminan terhadap keberlangsungan pelayanan ekosistem, yang tidak mengalami
penyusutan kuantitas maupun kualitas fungsi pelayanan lingkungan hidup. Kami
berharap, masyarakat setempat tidak akan direlokasi ataupun dipindahkan ke
tempat yang lain, hanya karena kepentingan restorasi ekosistem untuk hutan
karbon.
Kami berharap, agar pidato Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, pada
forum COP-17 di Durban, Afrika Selatan, awal Desember ini, tidak sekedar
retorika belaka. Tapi, harus dibarengi dengan langkah kongkrit yang nyata di
level propinsi. Terutama, dalam upaya penurunan emisi akibat deforestasi dan
degradasi hutan dan lahan, harus diikuti dengan perubahan paradigma untuk
melestarikan hutan, dan berani melakukan terobosan kebijakan politik. Salah
satunya, kebijakan politik terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar
dan dalam hutan, yang tersebar di 724 setingkat mukim atau desa di Sulawesi
Tengah. Mereka ini berjumlah sekitar 850.000 jiwa, sekitar 33% dari populasi
penduduk Sulawesi Tengah. Termasuk pula, keberanian untuk
menyelesaikan konflik tenurial kehutanan yang sudah berkepanjangan.
Azmi Sirajuddin
Koordinator
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !