Headlines News :
Photobucket
Foto Jakacu75
Photobucket
Home » » HAM TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PRAKTEK KONSERVASI

HAM TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PRAKTEK KONSERVASI

Written By neguru on Selasa, 22 Mei 2012 | 05.28

Judul : Setelah Kami dilarang Masuk Hutan Penulis : Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto Penerbit : Penerbit HuMA-Jakarta Terbit : I, 2010 Halaman : xviii + 113 halaman

Produk hukum tentang perlindungan rakyat terus di produksi oleh negara dan mengakui akan hak asasi manusia (HAM) baik di bidang hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya. 

Namun perkembangan prakteknya dilapangan sangat jauh berbeda dari harapan-harapan masyarakat. Dalam banyak kasus memperlihatkan bahwa pemerintah lebih memilih ’pujian’ ketimbang berupaya mengangkat harkat dan martabat manusia pada posisi yang sebenarnya. Dalam pengantar buku ini yang ditulis Abdias Yas, mengatakan bahwa program berlabelkan konservasi yang mungkin banyak dipuji masyarakat internasional dan NGO konservasi dan ternyata dalam kenyataannya telah memakan banyak korban di pihak masyarakat setempat.

Buku ini merupakan hasil studi mengenai dampak pembatasan dan pelarangan aktivitas tradisional turun temurun di Taman Nasional Bukit Baka dan Raya (TNBBR) terhadap penikmatan hak-hak dan kebebasan dasar masyarakat hukum adat ketemenggunan Siyai Kabupaten Melawai Kalimantan Barat Buku yang ditulis oleh Agustinus dan Sentot ini mengidentifikasi pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah dalam program TNBBR. Pertama, Pelanggaran hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang dibuktikan luas lahan komunitas yang dulunya 10-15 hektar saat ini hanya 2 - 5 ha. 

Lahan komunitas yang berada dalam kawasan hutan sudah tak bisa digarap akibat ancaman kriminalitas dari pihak pengelolah TNBBR. Kedua, Pelanggaran atas hak untuk menjalankan pekerjaan tradisional turun menurun juga terjadi akibat pelarangan masuk hutan sehingga aktivitas berburu, mencari rotan dan lainnya tidak bisa lagi dilakukan oleh komunitas setempat -- hal ini tentu saja berdampak pada semakin sulitnya komunitas untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi keluarganya. 

Ketiga, pelarangan hak atas bahan pangan -- setidaknya ditunjukkan bahwa sebelum ada TNBBR hasil produksi padi perpanennya sebanyak 1.000 kg dan setelah ada TNBBR produksi padi hanya mencapai 500 - 600 kg per panen. Keempat, pelarangan hak atas perumahan, masyarakat adat Ketemenggungan Siyai pada kondisi sekarang susah mendapatkan bahan untuk membuat bangunan rumah panjang, karena pelarangan mengambil kayu belian dan rotan yang menjadi bahan baku dasar dalam membuat rumah adat. Kelima, pelarangan hak budaya, dalam kawasan hutan masyarakat setempat memiliki tempat-tempat keramat yang seharusnya mereka bersihkan rawat dengan cara ritual adat di tempat-temapt tersebut -- namun pelarangan masuk kawasan hutan membuat masyarakat adat kehilangan akses untuk menjalankan nilai-nilai budaya. Ada dua pokok mengapa terjadinya pelanggaran HAM. 

Pertama kebijakan konservasi belum mengadopsi HAM, UU 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pada UU tersebut tidak satu pun pasal yang mengakui keberadaan masyarakat adat, misalnya pada pasal 33 melarang pekerjaan tradsional turun menurun dengan alasan menjaga keutuhan kawasan nasional – sehingga 7 orang komunitas setempat ditangkap dan dipenjarakan karena melakukan aktivitas turun menurun pada kawasan konservasi. Kedua, pemahaman dan kemampuan personil (polisi hutan) yang berpikir positivis dan miskin HAM. 

Dalam pelatihan pengembangan kemampuan personil hanya mengedepankan latihan keterampilan menggunakan senjata api sehingga dalam penanganan konservasi lebih pada tindakan represif, dan bertindak sewenang-wenang yang anti HAM. Padahal Indonesia telah meratifikasi enam hukum HAM internasioal yakni kovenan internasional hak sipil dan politik; kovenan hak ekosob; kovenan menentang penyiksaan; kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan; dan konvensi hak anak. Dalam kovenan tersebut secara tegas memberi pengakuan terhadap hak-hak dan kebebasan dasar dari komunitas masyarakat hukum adat. 

Bahkan dari ratifikasi ini memunculkan UU 40/2008 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial. HAM sesungguhnya tidak bertentangan dengan praktek konservasi, Konvensi ILO 169 pada pasal 14 menyebutkan bahwa hak kepemilikan masyarakat hukum adat atas tanah yang mereka tempati secara tradisional harus diakui. Konservasi bertujuan melestarikan kembali lingkungan alam. Melihat tujuan ini tentu saja – para pihak yang menghalangi usaha tersebut akan ’dicap’ sebagai bagian dari komunitas perusak hutan -- hal ini juga digambarkan pada buku ini bahwa para pegiat lingkungan setempat menghadapi dilematis disatu sisi lingkungan harus diselamatkan disisi lain HAM juga harus ditegakkan. Lewat buku ini penulis buku ini ingin mengatakan bahwa untuk keluar dari situasi dilematis tersebut adalah lewat penelitian lapangan. Sebab tanpa itu kita terjebak atau bisa jadi dijebak sebagai ’orang yang membiarkan rusaknya hutan’. (Zaiful)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Photobucket

DONASI


No Rek : 0060 01 000089 537
A/N : Mohammad Akbar
Google Akun
Email:
Sandi:
Anda lupa sandi?
DakoNeguru

Random Post

Photobucket
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. blog demo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger